Curhatan Seorang SMA Mengenai Mutu dan Kualitas Pendidikan Indonesia

 Catatan penting sebelum membaca!
1. Tulisan yang ditulis tidak bertujuan untuk menyinggung pihak manapun yang berbau pendidikan.
2. Tulisan yang ditulis tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak manapun.
3. Penulis bukan merupakan seseorang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas namun tulisan ini lebih didasarkan pada hasil pengamatan penulis selama menempuh jenjang pendidikan.
4. Tulisan yang dibuat hanya sebatas pemikiran penulis dan didasarkan pada pemikiran yang subjektif.


Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Sebagian besar wilayah Indonesia terdapat pulau-pulau oleh karenanya Indonesia juga termasuk salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Itulah yang sering kita dengar saat masih duduk dibangku SD. Saat masih dalam jenjang sekolah dasar, sistem pendidikan masih berupa pengenalan misalnya pengenalan bagian-bagian tubuh, negara, angka dilanjuti dengan perhitungan. Masa sekolah saat jenjang SD adalah 6 tahun artinya setiap murid dibimbing dengan pembekalan pengetahuan selama 6 tahun lamanya yang kemudian akan menghadapi tes evaluatif ataupun yang lebih dikenal ujian nasional sebagai acuan bahwa murid tersebut siap menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Sudah cukup pengenalannya sekarang kita masuk ke topik pembahasan. Sesuai catatan diatas , apa yang saya tekankan adalah hasil pengamatan saya selama menempuh program pendidikan.

Mari kita mulai topik pembahasan dengan peringkat pendidikan Indonesia di dunia. Indonesia menempati urutan ke 69 dibawah Qatar (68) dan diatas Botswana (70) dari 76 negara total sedangkan urutan pertama ditempati oleh Singapura disusul Hongkong dan Korea Selatan pada urutan 2, 3. Untuk memastikan keaslian data, silahkan cek disini. Mengapa Indonesia bisa menempati urutan ke 69 ? Apa letak kesalahan pada sistem pendidikan Indonesia yang kita lalui selama ini ? Padahal dari beberapa kasus yang saya temui, siswa-siswi Indonesia tidak kalah dalam hal pendidikan buktinya dapat kita lihat dari perolehan medali yang didapat saat mengikuti lomba bertaraf internasional. Jadi, apa substansi masalah yang membuat sistem pendidikan kita terlihat begitu lemah ?

Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dari pernyataan tersebut kita diharapkan mampu bersikap secara proaktif untuk menghadapi perubahan jaman. Karena dengan bersikap proaktif kita menuntun diri kita menuju perbaikan, kesuksesan masing-masing. Kitalah yang memutuskan dimana kita berjalan serta bertanggung jawab pada keadaan yang terjadi disekitar kita.

Kembali ke rumusan masalah, Jadi, apa substansi masalah yang membuat sistem pendidikan kita terlihat begitu lemah ? Ada beberapa cerita yang ingin saya ceritakan selama saya bersekolah sebelum menjawab dan menyimpulkan pertanyaan diatas.

Saya bukan merupakan siswa yang tinggal di kota-kota besar selama menempuh pendidikan. Namun saya harap itu bukan merupakan masalah besar yang membedakan kualitas dan tenaga pengajar. Sejak SD saya diajari untuk menghafal terutama untuk menghafal perkalian. Memang tidak ada salahnya untuk menghafal karena seperti yang sudah saya katakan bahwa masih tahap pengenalan. Namun ada beberapa hal yang tidak disadari oleh tenaga pengajar bahwa dengan hanya menghafal, pelajaran menjadi membosankan apalagi jika guru sebagai pengajar tidak membuat suasana belajar menjadi mengasyikan. Belum lagi dengan cara mengajar guru yang sedikit lebih formal, membebani muridnya untuk mendapatkan nilai sesuai kriteria kelulusan minimal sedangkan prosedur pengajarannya terlalu kaku. Itu hanya sebagian kecil masalah, belum lagi kebiasaan menghafal dibawa sampai jenjang SMP dimana pada tahap tersebut kesulitan materi yang kita pelajari akan meningkat.


Peran guru sekolah dasar tidak boleh diremehkan. Justru merekalah yang berperan sebagai tongak utama pendorong semangat dan motivasi belajar siswa. Namun sayangnya, kebanyakan sekolah menganggap dan memandang rendah posisi ini. Perspektif mereka akan mutu pendidikan dasar menurut saya salah. Buktinya masih banyak guru dengan pengetahuan pas-pasan yang ditugaskan untuk mengajar sekolah dasar. Kita seharusnya mampu melihat bahwa kemandirian seseorang akan timbul seiring dengan pertambahan usia. Semakin dewasa kita berbanding lurus dengan sikap kemandirian kita. Mandiri yang saya maksud adalah bagaimana kita mencari informasi,pengetahuan baik secara internal maupun eksternal di berbagai sumber. Jadi kristalisasi pemikiran saya adalah bahwa tenaga pengajar yang berkualitas lebih baik ditempatkan pada jenjang SD agar aspek kontekstual dapat terpenuhi.

Bahkan berdasarkan pengamatan saya, masih banyak siswa SMP yang masih belum paham betul konsep dasar yang diajari saat SD dan siswa SMA yang masih belum mengerti pelajaran SMP. Lantas, salah siapa ? Apakah dengan ini kita langsung melimpahkan seluruh kesalahan kepada khalayak murid dengan menganggap bahwa murid tersebut kurang mampu dalam pembelajaran ? sekali lagi pembahasan ini bukan basis teori rigid melainkan berdasarkan pemikiran yang subjektif. Kita terpaku pada dogma yang mengharuskan kita belajar sesuai kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Berbeda dengan negara lain yang membebaskan kurikulum , buku yang dipilih untuk mengajar , cara mengajar sesuai keinginan gurunya. Guru yang terpilih juga tidak sembarangan melainkan top ten dari lulusan universitas gelar magister. Kita seharusnya berbenah diri karena dari sudut pandang saya, saya melihat bahwa terjadi kesalahan implementasi program pendidikan di negara kita dan sikap konsevatif inilah yang menghambat kita untuk melakukan perubahan. Sekolah dibuka seolah-olah memberikan kesan mempunyai visi misi jelas untuk memajukan kualitas pendidikan padahal hanya ingin meraup keuntungan tambahan atau dijadikan sebagai tempat penghasilan uang tambahan. Saya tidak mengatakan bahwa semua sekolah bersikap demikian dan bukan pula bermaksud menuduh sembarangan. Namun saya hanya menyayangkan sikap apatis dan bertindak tidak acuh dalam hal menyeleksi guru yang tepat atau memilih seadanya. Sekali lagi ini hanya pemikiran yang dituangkan berdasarkan sudut pandang saya dan bukan bermaksud untuk berdebat.


Jika dari segi penempatan tenaga pengajar sudah kita bahas sekarang kita berpindah haluan pada ujian evaluatif yang diselenggarakan setiap mengakhiri jenjang SD,SMP,SMA maupun SMK. Yups, UN adalah tes akhir untuk mengukur kemampuan siswa yang telah dipelajari dan menentukan apakah sang siswa sudah siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak. Dalam ranah pendidikan , tes merupakan suatu hal yang penting sebagai alat pengukur. Ya saya setuju dengan pernyataan tersebut tapi bagaimanakah jika tes yang diberikan terlalu berlebihan sehingga menambah beban dan tekanan yang mengakibatkan timbulnya kecurangan ?  Jujur saja siswa di Indonesia pasti sudah tidak asing lagi kan dengan kecurangan yang saya maksud ? Sudahlah, tidak usah dibahas dibagian sananya toh kejujuran akan tercermin sendirinya dari dalam diri kita jika kita memang jujur. Lucunya dalam beberapa kasus, nilai hasil kecurangan tersebut malah dibangga-banggakan seperti sebuah hasil mutlak bukti perjuangan, guru pengawas bahkan bekerjasama dan membantu para siswa melancarkan aksi contek-mencontek selama ujian. Polisi pengawas diberi makan sebagai upaya tutup mulut atas kecurangan yang diperbuat. Bukankah itu bersifat inkonstitusional ?. Para guru juga sah-sah saja, tidak memedulikan,apatis. Lantas apa faedah yang didapatkan ketika UN diselenggarakan ? Apakah hanya sebatas simbol agar dikatakan sistem pendidikan Indonesia tidak sembarangan ? Motto UN yang isinya "Prestasi Ya, Jujur Harus" melenceng jauh dari kenyataan. Tentunya saya tidak menuduh semua siswa bertindak demikian karena saya percaya masih banyak orang jujur diluar sana yang tidak memedulikan angka dibalik raport maupun ijazah.




Nilai juga berimplikasi dengan salah satu faktor yang membuat lemahnya pendidikan. Sebab tendensi bersaing untuk nilai masih terlalu tinggi. Kebanyakan siswa sekarang lebih mementingkan nilai dan mengesampingkan ilmu yang didapat sehingga berujung pada lemahnya kualitas dan memudarnya keintesan pendidikan. Jika saya meminjam hierarki kebutuhan Abraham Maslow yang menyatakan bahwa kebutuhan tertinggi manusia adalah kebutuhan aktualisasi diri sedangkan yang berada pada tingkatan terendah adalah kebutuhan dasar atau fisiologis. Kita seakan-akan masih berada dalam tingkatan paling bawah yaitu kebutuhan dasar. Masih banyak kebutuhan yang harus kita peroleh untuk mengkonsolidasi sistem pendidikan kita bukannya malah menunggu seseorang yang hadir untuk mengubahnya. Jika kita tidak memulai, siapa lagi ? kenyataannya memang kita masih berupa noktah ditengah kerumunan. Dimana arus berjalan disitulah kita mengikuti. Untuk menjadi pembawa arusnya haruslah anda menjadi seseorang yang besar.



Saya harap sidang pembaca dapat mencermati dan mengambil sisi positif dari hasil pemikiran yang saya simpulkan selama menekuni pendidikan. Karena faktor-faktor diatas yang menyebabkan sebagian siswa termasuk saya merasa bosan untuk belajar disekolah. Sering kali tidur dikelas, ngobrol untuk menghilangkan kebosanan, telat datang kesekolah. Meskipun itu adalah hal terlarang dan tidak patut dicontoh. Saya berharap agar tulisan ini dapat dijadikan bahan kontemplasi supaya untuk masa kontemporer ini dah masa depan mutu maupun kualitas pendidikan tanah air kita yang tercinta ini dapat menjajal peringkat atas untuk bersaing dengan negara-negara hebat lainnya. Demikianlah bahasan saya, semoga dapat bermanfaat dan salam edukasi!



Previous
Next Post »

- -

-                                                                                            -